Rasulullah SAW sering berpesan kepada para sahabatnya, “La
Taghdhob!” (jangan marah). Sebab kemarahan itu ‘permulaannya kegilaaan, dan
akhirnya penyesalan’. Syekh Ahmad bin
Syekh Hijazi dalam Al-Majalisus Saniyah mengisahkan sebuah peristiwa tentang marah ini
berkaitan dengan wasiat Rasul diatas.
Suatu hari seorang kaya raya memanggil budaknya. Ia
membutuhkan sesuatu. Perutnya berbunyi. Alarm di mana tubuh si orang kaya ini
membutuhkan pasokan logistik. Mulutnya bau. Ia lapar. Karna lapar juga
menyerang orang kaya. Kekayaannya terikat (muqayyad). Tiada kekayaan absolut
(mutlaq). Artinya, orang kaya maupun orang miskin, pejabat maupun jelata,
sama-sama faqir.
Memahami perintah sang tuan, si budak membawakan makanan
dalam sebuah nampan lebar. Tanpa pikir panjang, ia jalani kewajiban sebagaimana
biasanya. Tetapi hari itu yang tanpa mendung apalagi hujan, mengubah nasibnya.
Di tengah membawa nampan lebar itu, kakinya menabrak bibir
permadani tebal. Ia tersandung. Ia jatuh bersama nampan di tangannya. Sajian
berupa aneka makanan lezat di atas nampan, berhamburan. Dentuman nampan logam
mulia, berdebam datar di atas permadani mewah dan tebal.
Sementara wajah sang tuan merah. Geram. Ia jengkel bukan
kepalang. Mengetahui tuannya mendongkol, sang pelayan berdiri tegap setelah
membenahi hamburan isi nampan. Lalu terjadilah dialog sebagai berikut.
“Tuanku paduka yang mulia, dengan segenap hormat hamba harap
paduka berpegang pada firman Allah SWT,” kata sang budak sedikit gugup memulai
permohonan maaf.
Tuannya berkata dengan suara tinggi, “Apa yang pernah Allah
firmankan?”
“Dia pernah berfirman...” lalu ia membaca pecahan ayat 134
Surat Ali Imron yang menerangkan sifat orang yang bertakwa. “والكاظمين الغيظ ” artinya (orang bertakwa ialah ... dan
mereka yang menahan amarah).
“Baik, aku tahan marahku,” jawab
sang tuan dengan warna wajah kembali normal. Suara masih tinggi.
“Tuanku, Allah juga berfirman, (dan
mereka yang memaafkan kesalahan orang lain) والعافين عن الناس”.
“Oke, kumaafkan kesalahanmu,”
tanggap sang tuan dengan suara dingin.
“Terima kasih paduka, (Allah
mencinta mereka yang berbuat baik) والله يحب المحسنين”, tutup sang budak masih gugup.
Semua firman yang dibacanya merupakan kepingan-kepingan ayat
134 pada surat Ali Imron. Setelah itu, dengan wajah semringah sang tuan
memerdekakan budaknya. Ia pun membekali budaknya dengan uang sebanyak 1000
dinar.
Dengan menahan marah dan memaafkan kesalahan budaknya dalam
bekerja, sang majikan berhak meraih hangatnya cinta dari Allah SWT. (nuonline)
0 comments:
Post a Comment