Semua orang tentu ingin hidup sejahtera di dunia, dan ketika
meninggal kelak masuk surga. Jangan sampai di dunia sengsara, mati masuk
neraka. Seperti kisah berikut tentang dua orang dengan kondisi yang kontras:
seorang laki-laki kaya raya dan perempuan papa. Dalam keseharian pun, keduanya
juga tampak begitu berbeda. Si lelaki
hidupnya padat oleh kesibukan duniawi, sementara wanita yang miskin itu justru
menghabiskan waktunya untuk selalu beribadah.
Nasib lain dialami si perempuan miskin. Para tetangganya tak
menemukan harta apapun di rumahnya. Kecuali sebuah bejana dengan persediaan air
wudhu di dalamnya. Ya, bagi wanita taat ini, air wudhu menjadi kekayaan yang
membanggakan meski hidup masih pas-pasan. Bukanah kesucian menjadikan ibadah
kita lebih diterima dan khidmat? Dan karenanya menjanjikan balasan yang jauh
lebih agung dari sekadar kekayaan duniawi yang fana ini?
Syekh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani dalam kitab al-Minahus
Saniyyah mengisahkan, suatu ketika ada seorang yang mengambil wudhu dari bejana
milik perempuan itu. Melihat hal demikian, si perempuan berbisik dalam hati,
“Kalau air itu habis, lalu bagaimana aku akan berwudhu untuk menunaikan
sembahyang sunnah nanti malam?”
Apa yang tampak secara lahir tak selalu menunjukkan keadaan
sebenarnya. Diceritakan, setelah meniggal dunia, keadaan keduanya jauh berbeda.
Sang lelaki kaya raya itu mendapat kenikmatan surga, sementara si perempuan papa
yang taat beribadah itu justru masuk neraka. Apa pasal?
Lelaki hartawan tersebut menerima kemuliaan lantaran sikap
zuhudnya dari gemerlap duniawi. Kekayaannya yang banyak tak lantas membuat
larut dalam kemewahan, cinta dunia, serta kebakhilan. Apa yang dimilikinya
semata untuk kebutuhan hidup, menunjang keadaan untuk mencari ridla Allah.
Pandangan hidup semacam ini tak dimiliki si perempuan.
Hidupnya yang serbakekurangan justru menjerumuskan hatinya pada cinta
kebendaan. Buktinya, ia tak mampu merelakan orang lain berwudhu dengan airnya,
meski dengan alasan untuk beribadah. Ketidakikhlasannya adalah petunjuk bahwa
ia miskin bukan karena terlepas dari cinta kebendaan melainkan “dipaksa” oleh
keadaan.
Syekh Abdul Wahhab Asy-Sya’rani menjelaskan dalam kitab yang
sama bahwa zuhud adalah meninggalkan kecenderungan hati pada kesenangan
duniawi, tapi bukan berarti mengosongkan tangan dari harta sama sekali. Segenap
kekayaan dunia direngkuh untuk memenuhi kadar kebutuhan dan memaksimalkan
keadaan untuk beribadah kepada-Nya.
Nasihat ulama sufi ini juga berlaku kebalikannya. Untuk
cinta dunia, seseorang tak mesti menjadi kaya raya terlebih dahulu. Karena
zuhud memang berurusan dengan hati, bukan secara langsung dengan alam bendawi.
(nuonline)
0 comments:
Post a Comment