Ketika kita dalam kondisi junub atau berhadas besar, maka
kita wajib mandi besar untuk mennghilangkan atau mensucikan hadas tersebut.
Tapi bagaimana jika kita sedang dalam keadaan sakit, ternyata kita mimpim basah
atau selesai haid. Apakah kita juga harus mandi? Padahal ada kemungkinan mandi
kita itu akan membuat kita semakin sakit.
Yang harus diketahui adalah bahwa orang yang dalam keadaan sakit memiliki hukum
khusus dalam thoharoh (bersuci) dan shalat sesuai dengan keadaan mereka, yang
juga hal ini diperhatikan oleh syari’at islam. Sesungguhnya Allah mengutus
Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ajaran yang lurus,
toleran dan ajaran tersebut selalu mendatangkan kemudahan bagi hamba-Nya. Allah
Ta’ala berfirman,
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu suatu
kesempitan dalam agama.” (QS. Al Hajj [22]: 78)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesulitan bagimu.” (QS. Al Baqarah [2]: 185)
“Maka bertakwalah kalian kepada Allah sesuai kesanggupan
kalian dan dengarlah serta ta’atlah.” (QS. At Taghobun [64]: 16)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya agama ini mudah.” (HR. Bukhari no. 39)
“Jika kalian diperintahkan dengan suatu perintah,
laksanakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337)
Berdasarkan kaedah-kaedah penting ini, Allah Ta’ala
meringankan bagi orang-orang yang kesulitan dalam melakukan ibadah supaya
melakukan ibadah sesuai dengan kondisi mereka sehingga mereka dapat melakukan
ibadah kepada Allah Ta’ala, tanpa merasa sempit dan sulit. Segala puji kita
panjatkan pada Rabb kita, Rabb semesta alam.
“Dan, jika kalian sakit atau dalam perjalanan atau kembali
dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kalian tidak
memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah
muka kalian dan tangan kalian dengan tanah itu.” (Al-Maidah: 6)
Bagaimana cara bersuci (thoharoh) bagi orang yang sakit?
Pertama; wajib bagi orang yang sakit untuk bersuci dengan
air yaitu dia wajib berwudhu ketika terkena hadats ashgor (hadats kecil). Jika
terkena hadats akbar (hadats besar), dia diwajibkan untuk mandi wajib.
Kedua; jika tidak mampu bersuci dengan air karena tidak
mampu atau karena khawatir sakitnya bertambah parah, atau khawatir sakitnya
bisa bertambah lama sembuhnya, maka dia diharuskan untuk tayamum.
Ketiga; TATA CARA TAYAMUM adalah dengan menepuk kedua
telapak tangan ke tanah yang suci dengan satu kali tepukan, lalu mengusap
seluruh wajah dengan kedua telapak tangan tadi, setelah itu mengusap kedua
telapak tangan satu sama lain.[2]
Keempat; jika orang yang sakit tersebut tidak mampu bersuci
sendiri, maka orang lain boleh membantunya untuk berwudhu atau tayamum.
(Misalnya tayamum), orang yang dimintai tolong tersebut menepuk telapak
tangannya ke tanah yang suci, lalu dia mengusap wajah orang yang sakit tadi,
diteruskan dengan mengusap kedua telapak tangannya. Hal ini juga serupa jika
orang yang sakit tersebut tidak mampu berwudhu (namun masih mampu menggunakan
air, pen), maka orang lain pun bisa menolong dia dalam berwudhu (orang lain
yang membasuh anggota tubuhnya ketika wudhu, pen).
Kelima; jika pada sebagian anggota tubuh yang harus
disucikan terdapat luka, maka luka tersebut tetap dibasuh dengan air. Apabila
dibasuh dengan air berdampak sesuatu (membuat luka bertambah parah, pen), cukup
bagian yang terluka tersebut diusap dengan satu kali usapan. Caranya adalah
tangan dibasahi dengan air, lalu luka tadi diusap dengan tangan yang basah
tadi. Jika diusap juga berdampak sesuatu, pada saat ini diperbolehkan untuk
bertayamum.
[Keterangan[3] : membasuh adalah dengan mengalirkan air pada
anggota tubuh yang ingin dibersihkan, sedangkan mengusap adalah cukup dengan
membasahi tangan dengan air, lalu tangan ini saja yang dipakai untuk mengusap,
tidak dengan mengalirkan air]
Keenam; jika sebagian anggota tubuh yang harus dibasuh
mengalami patah, lalu dibalut dengan kain (perban) atau gips, maka cukup
anggota tubuh tadi diusap dengan air sebagai ganti dari membasuh. Pada kondisi
luka yang diperban seperti ini tidak perlu beralih ke tayamum karena mengusap
adalah pengganti dari membasuh.
Ketujuh; boleh seseorang bertayamum pada tembok yang suci
atau yang lainnya, asalkan memiliki debu[4]. Namun apabila tembok tersebut
dilapisi dengan sesuatu yang bukan tanah -seperti cat-, maka pada saat ini
tidak boleh bertayamum dari tembok tersebut kecuali jika ada debu.
Kedelapan; jika tidak ditemukan tanah atau tembok yang
memiliki debu, maka tidak mengapa menggunakan debu yang dikumpulkan di suatu
wadah atau di sapu tangan, kemudian setelah itu bertayamum dari debu tadi.
Kesembilan; jika kita telah bertayamum dan kita masih dalam
keadaan suci (belum melakukan pembatal) hingga masuk waktu shalat berikutnya,
maka kita cukup mengerjakan shalat dengan menggunakan tayamum yang pertama
tadi, tanpa perlu mengulang tayamum lagi karena ini masih dalam keadaan thoharoh
(suci) selama belum melakukan pembatal.
Kesepuluh; wajib bagi orang yang sakit untuk membersihkan
badannya dari setiap najis. Jika dia tidak mampu untuk menghilangkannya dan dia
shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi.
Kesebelas; wajib bagi orang yang sakit mengerjakan shalat
dengan pakaian yang suci. Jika pakaian tersebut terkena najis, maka wajib
dicuci atau diganti dengan pakaian yang suci. Jika dia tidak mampu untuk
melakukan hal ini dan shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya tetap sah dan
tidak perlu diulangi.
Keduabelas; wajib bagi orang yang sakit mengerjakan shalat
pada tempat yang suci. Apabila tempat shalatnya (seperti alas tidur atau
bantal, pen) terkena najis, wajib najis tersebut dicuci atau diganti dengan
yang suci, atau mungkin diberi alas lain yang suci. Jika tidak mampu untuk
melakukan hal ini dan tetap shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya tetap
sah dan tidak perlu diulangi.
Ketigabelas; tidak boleh bagi orang yang sakit mengakhirkan
shalat hingga keluar waktunya dengan alasan karena tidak mampu untuk bersuci.
Bahkan orang yang sakit ini tetap wajib bersuci sesuai dengan kadar
kemampuannya, sehingga dia dapat shalat tepat waktu; walaupun badan, pakaian,
atau tempat shalatnya dalam keadaan najis dan tidak mampu dibersihkan
(disucikan). [Sumber: rumaysho/Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal]
0 comments:
Post a Comment